STUDI ALQURAN


MAKALAH  METODOLOGI STUDI AL-QUR’AN

A. Wacana tentang Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan
Al-Qur’an yang merupakan seperangkat aturan hidup, memberikan porsi besar kepada perkembangan manusia terutama menyangkut maksimalisasi fungsi pikirnya.  Isyarat ilmiah dalam al-Qur’an, merupakan salah satu aspek I’jaz al-Qur’an yang lazim dikenal dengan i’jaz ‘ilmy. Membahas hubungan dan isyarat ilmiah dalam al-Qur’an, penting mengutip pendapat Quraish Shihab bahwa melihat isyarat ilmiah dalam al-Qur’an bukan berarti dengan melihat  misalnya adakah teori relativitas atau bahasan tentang angkasa luar, tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan  atau sebaliknya, serta adakah satu ayat al-Qur’an yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang sudah mapan? dengan kata lain meletakkanal-Qur’an pada sisi social psychology (psikologi sosial) dan bukan pada sisi “history of scientific progress” (sejarah perkembangan ilmu pengetahuan”
Pernyataan Quraish Shihab di atas penting diingat karena ilmu pengetahuan sangat terkait dengan ruang dan waktu. Karena itu, tidak beralasan pendapat yang mencoba memaksakan bahwa al-Qur’an mengandung semua pengetahuan  ilmiah, sebab ini selanjutnya akan mengandaikan terikatnya kebenaran al-Qur’an dengan ruang dan waktu. Mengandaikan hal ini akan mengakibatkan pemahaman kita terhadap al-Qur’an menjadi absurd, sekaligus mereduksi keagungannya sebagai kitab suci.
Berangkat dari pemikiran di atas, para mufassirin memposisikan al-Qur’an sebagai kitab hidayah  yang di dalamya mengandung isyarat-isyarat ilmiah, untuk selanjutnya merangsang manusia untuk mengembangkan dan menganalisisnya lebih jauh lewat observasi dan penelitian. Untuk memberi arah pada observasi dan penelitian ilmiah inilah al-Qur’an meletakkannya dalam kerangka memperkuat keimanan seseorang. Karena itu, logis kalau al-Qur’an melabelkan ilmu pengetahuan pada kadar dan tingkat keimanan seseorang. Di sinilah bertemunya isyarat ilmiah al-Qur’an dengan perintah iqra’ yang sejak pertama diperintahkan Allah kepada Muhammad SAW.
Berkaitan dengan pemikiran di atas, Muhammad Isma’il  Ibrahim,   menyebutkan bahwa maksimalisasi peran akal dan kecintaan ilmu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberagamaan sekaligus keimanan seseorang.  Ismail menyebutkan bahwa dalam melihat hal ini, ia harus diletakkan  dalam kerangka pencarian kebenaran dan kedekatan pada sang Pencipta, serta harus bersesuaian dengan petunjuk al-Quran dan al-Sunnah (bismi rabbik).
Dalam kaitannya dengan kemu’jizatan al-Qur’an, isyarat-isyarat ilmiahnya muncul dalam porsi terbesarnya  tentang anjuranya untuk membaca ayat-ayat kawniyah yang terdapat di alam.  Anjurannya untuk mleihat alam semesta ini, menurut Sirajuddin Zar bertujuan untuk mengantarkan manusia agar mereka  menyadari bahwa di balik “tirai” alam semesta yang disebutnya sebagai kitab alam, ada Zat Yang Maha Kuasa, seklaigus untuk menguatkan keyakinan bahwa Tuhan memang Maha Kuasa sebagaimana yang ditunjukkan al-Qur’an. Dalam konteks ini, Mehdi Ghulsyani,  menyatakan bahwa lebih dari 10%  ayat-ayat al-Qur’an merupakan rujukan-rujukan kepada fenomena alam.Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di era sekarang kita menemukan banyak tafsir ayat al-Qur’an yang dikaitkan dengan ilmu pengetahuan alam. Di sinilah letak perpaduan harmonis antara ilmu tafsir dan i’jaz al-Qur’an.
Di antara dorongan untuk bersikap dan memiliki kesadaran ilmiah ini, secara lebih khusus  lagi muncul dalam anjuran al-Qur’an untuk :1) memikirkan makhluk-makhluk Allah yang ada di langit dan di bumi; 2)Memikirkan diri manusia sendiri; 3) memikirkan bumi dan alam yang mengitari matahari; 4)mengangkat kedudukan orang-orang yang berilmu dan membedakan kualifikasi antara yang berilmu dan yang tidak, dan sebagainya.
Misalnya dalam QS. Yunus; 5 disebutkan bahwa cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri, sedangkan cahaya bulan merupakan pantulan dari cahaya matahari. Sebuah pernyataan yang jika ditinjau dari segi ilmiah, dapat diterima kebenarannya. Ia juga merupakan buah kemu’jizatan, sebab kitab suci  yang diturunkan Tuhan beberapa abad silam kepada Muhammad SAW yang ummi itu, ternyata  mampu berbicara sesuatu yang lewat perspektif modern dapat diterima kebenarannya.


B. Metode Studi al-Qur’an: Menuju Pemahaman Holistik
1. Beberapa pendekatan dalam penafsiran al-Qur’an
Beragam kitab tafsir mulai era klasik  hingga era modern yang didominasi dan hegemoni oleh metode tahlily, menyisakan catatan penting tentang beberapa kelemahan metode  tersebut. Selain pendekatannya yang menekankan pada kronologi ayat berdasarkan tertib surat mushaf Usmani, pendekatan ini juga mengedepankan logika keumuman lafadz daripada kekhususan sebab (al-‘ibrah bi umum al-lafdzi la bi khushus al-sabab) serta kurang memperhatikan koteks ketika ayat tersebut turun. Hal ini mengakibatkan kurang tersentuhnya problem masyarakat oleh al-Qur’an yang sesungguhnya prinsip umumnya telah digariskan di dalamnya. Demikian juga dua metode lainnya, yakni metode Ijmaly (tafsir global) dan muqaran (tafsir komparatif).
Fenomena interpretasi teks-teks suci berkaitan dengan  konsep jender yang mendiskreditkan kaum perempuan ini, menurut kesimpulan beberapa feminis muslim, disebbkan oleh beberapa hal : 1) belum jelasnya konsep seks dan jender dalam mendefinisikan  peran laki-laki dan perempuan, 2)ilfiltrasi israiliyat dalam teks-teks suci yang berkembang di kawasan Timur Tengah, 3)metode interpretasi yang mengandalkan  metode tahlili dan bukan maudhu’i serta 4)kemungkinan ketidaknetralannya mencermati teks. Karena itu, perlu adanya  penggalakan interpretasi  teks dengan metode maudhu’i, yang sangat menekankan aspek kontekstual/sosial-budaya ketika att tersebut turun.
Teks yang sesungguhnya tidak netral, kemudian dipahami oleh para pembaca (mufassir, fuqaha’, dosen, da’i dsb) dengan hanya berdasarlajn teks, tanpa  melihat lebih jauh kapan, di mana dan untuk apa teks itu muncul. Kendati ada perbenturan terus menerus antara pengarang dan pembaca, namun dengan pendekatan yang demokratis tanpa ada hegemoni tertentu, maka isu-isu kontemporer dapat terakomodir di sana.
Dengan metode mawdhu’iy ini, akan dikukuhkan kembali fungsi al-Qur’an sebagai Kitab suci yang menuntun jalan setiap gerak kehidupan manusia, serta dapat menjadi  bukti bahwa ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Berangkat dari kenyataan itulah, Sayyid al-Kumy mencetuskan pertama kali Tafsir Mawdhu’iy pada tahun 1981,dengan harapan bahwa problematika masyarakat dapat dicarikan solusinya dalam al-Qur’an. Gagasan ini kemudian banyak menginfiltrasi pemikiran dan ldikembangkan oleh dosen-dosen di Al-Azhar seperti Al-Husaini Abu Farhah, dan bahkan Abdul Hayy al-Farmawy sukses menyempurnakan formula gagasan tersebut lewat masterpeace-nya yang bertitel al-Bidayah fi  al-Tafsir al-Mawdhu’iy. Sebagaimana disitir Quraish Shihab,  beberapa perincian dan kinerja metode tersebut :
1.    Menetapkan masalah yang akan dibahas memperhatikan masalah yang terjadi di masyarakat locally dan temporal melalui kosakata atau sinonimnya
2.    Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut
3.    Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang  asbab al-nuzul
4.    Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surat masing-masing
5.    Menyusun  pembahasan dalam kerangka  yang sempurna (outline)
6.    Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan
Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang memiliki pengertian yang sama, mengkompromikan antara yang ‘am dan yang khash, muthlaq dan muqayyad, atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya  bertemu dalam satu muara pemahman, tanpa perbedaan atau pemaksaan. Dalam konteks inilah interpretasi metode mawdhu’i dengan pendekatan ilmu-ilmu modern menjadi penting adanya, bahkan  juga mengharuskan pendekatan-pendekatan lintas-disipliner.
D. Penafsiran Mawdhu’i tentang Penciptaan Alam: Sekedar Contoh
Al-Qur’an mengungkapkan penciptaan alam dengan terma yang berbeda-beda, antara lain dengan kata  khalaqa, bada’a dan fathara. Hal ini misalnya dapat disimak dalam  QS. 11:7, QS. 21:30 (ja’ala), QS. 32:4, QS. 51: 47, 5. QS.41: 9-12,  dan QS. 65: 12. Namun ketiga ungkapan tersebut tidak memberikan penjelasanyang tegas apakah  alam semesta diciptakan dari materi yang sudah ada atau dari ketiadaan. Jadi ketiganya  hanya menjelaskan bahwa Allah pencipta  alam semesta tanpa menyebutkan dari ada dan tiadanya.
Dalam QS.Hud/11:7, ada beberapa kata kunci yang  memberikan penjelasan tentang hal ini, yakni sittati ayyam,’arsyuhu ‘ala al-ma’, al-samawat dan al-ardh. Alam semesta diciptakan dalam 6 tahapan dan ‘arasy Allah ketika berlangsungnya  proses penciptaan alam  semesta di atas zat alir atau sop kosmos (al-ma’).Al-sama’ dipahami sebagai ruang alam yang di dalamnya terdapat galaksi-galaksi, bintang-bintng dan lainya, dan bukan sebagai bola super raksasa yang mewadahi seluruh alam. Sedangkan al-ardh dalam konteks ayat ini dipahami sebagai mataeri yakni bakal bumi  yang telah ada sesaat setelah Allah menciptakan jagat raya.
Dalam QS. Al-Anbiya’/21: 30 dideskripsikan bahwa ruang alam (al-sama’) dan materi (al-ardh) sebelum dipisahkan Allah  adalah sesuatu yang padu (ratq), kendati al-Qur’an tidak menyebutkan bagaimana bentuk keterpaduannya. Rangkaian proses berikutnya setelah terjadinya proses pemisahan, akan alam semesta mengalami proses transisi membentuk dukhan, yang hal ini dapat disimak dalam QS. Fusshilat/41:11.
Karena  tidak ada penjelasan rinci tentang arti al—dukhan ini, Bucaile misalnya mengartikannya sebagai asap yang terdiri dari stratum gas dengan bagian-bagian kecil yang mungkin memasuki tahapan keadaan keras atau cair dalam suhu  rendah atau tinggi  Ibnu Katsir,  menafsirkannya sebagai uap air,  Al-Raghib menjelaskannya sebagai sesuatu yang halus dan ringan , sedangkan Hanafy Ahmad memberikan sifat dukhan sebagai sesuatu yang  dapat mengalir dan beterbangan di udara seperti mengalirnya al-sahab.
Masih dalam koteks QS. Fushilat ini, al-am’ tidak diartikan sebagai zat alir/sop kosmos sebagaimana dalam QS.Hud/11:7, namun diartikan sebagai air yang daripadanya dijadikan segala sesuatu yang hidup (QS. Al-Anbiya’/21:30) yang diperkuat oleh QS. Al-Nur/24: 45, yang menjelaskan bahwa Allah telah menciptakan segala jenis hewan dari air.. Bhkan issyarat Al-Qur’an ini dibuktikan oleh ilmu biologi kontemorer yang menunjukkan bahwa semua kehidupan dimulai dari air.
Berkaitan dengan proses penciptaan alam dalam enam tahapan, yang secara umum disebut dalam QS. Hud/11:7 disusul dalam QS. Al-sajdah/32:4 dan  dirinci oleh QS.Fushilat/41: 9-12 dan didukung oleh QS.al-A’raf/7:54, Yunus/10:3, al-Furqan/25:59, Qaf/50: 38 dan al-hadid/57:4.Enam tahap dimaksud bukan menunjukkan urut-urutan dalam penciptaan ruang alam (al-sama)dan materi (al-ardh) namun diartikan sebagai tahapan atau periode penciptaan alam semesta secara keseluruan dalam waktu yang sama.
Namun satu hal yang perlu dicatat bahwa kata yawm (plural: ayyam) tidak mesti berarti 6 hari seperti dalam hitungan manusia, namun berarti suatu masa yang kadarnya tidak dapat ditentukan dan tiada seorangpun yang mengetahui hakikatnya. Ini karena hitungan hari seperti dimaksud manusia sekarang baru ada setelah sempurnanya penciptaan alam semesta. Sebagaimana diilustraskan dalam QS.al-Hajj/22:47dan al-sajadah/32:5 bahwa sehari dalam hitungan Tuhan sama dengan seribu tahu dalam hitungan manusia (inna yawman ‘inda rabbik ka alfi sanat), dan al-Ma’arij/70:4 bahwa sehari dalam hitungan Tuhan sama dengan 50 ribu tahun (khamsina alfa sanat).
E. Catatan Akhir
Catatan sekelumit tentang metode studi al-Qur’an di atas, sesungguhnya hanya merupakan upaya mengintegrasikan antara isyarat-isyarat ilmiah al-Qur’an dengan temuan penelitian sains modern, serta untuk membuktikan bahwa tidak ada sesuatu yang sia-sia Tuhan menciptakan segala sesuatu. Untuk mencpai tujuan ini, metode tafsir klasik, bak tahlily, ijmaly dan muqaran tidak cukup memberikan penjelasan dan bahkan beberapa pesan al-Qur’an justru terkesan parsial dan reduksionis. Oleh karena itu, kehadiran metode mawdhu’iy dengan pendekatan-pendekatan ilmu modern menjadi penting adanya.
Sekali lagi bahwa hal ini bukan berarti bahwa studi al-Qur’an dan sains semata-mata hanya sebagai  upaya jusitifikasi yang apologetik, namun yang lebih penting dari itu adalah dalam rangka melaksanakan perintah IQRA’ yang sejak awal telah dijadikan sebagai isyarat bagi tumbuh kembangnya Islam. Dengan demikian, tanpa IQRA mustahil Islam akan bisa berkembang dan dikembangkan sebagai agama yang benar-benar rahmatan li al -’alamin.
Wa allah a’lam bi al-shawab.



DAFTAR BACAAN

Ahmad, Hanafy al-Tafsir al-‘Ilmy li Ayat al-Kawniyat. Kairo: Dar al-Ma’arif, tt.
 Al-Asfahany, al-Raghib. al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an. Beirut: Dar a-Ma’arif, tt.
 Ali Khan, Majid. Islam dan Evolusi Kehidupan, terj.Cuk Sukanto. Yogyakarta: PLP2M, 1987.
 Bucaile, Maurice. Bibel, Qur’an dan Sains Modern, terj. M. Rasyidi .Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
 Ghulsyani, Mehdi. Filsafat Sains Menurut al-Qur’an, terj Agus Effendi.Bandung: Mizan, 1993. 
Ibrahim, Muhammad Ismail. Al-Qur’an wa I’jazuh al’Ilm. Dar al-Fikr al-‘Araby: tth.
 Katsir, Ibnu.  Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim. Beirut: Isa al-Baby al-Halaby, 1969.
 Shihab,Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1994.
 Zar, Sirajuddin. Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains dan al-Qur’an. Jakarta: Rajawali Press, 1994.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Amalan Atau Cara Untuk Mengetahui Pencuri Atau Mengembalikan Barang Yang Hilang Karena Pencurian Dan Atau Mengembalikan Orang Yang Minggat/Kabur Dari Rumah Tanpa Pamitan

Kunci Jawaban Pelatihan - 4.21 Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dan Profil Pelajar Rahmatan Lil'alamin (P5 PPRA) - Pintar Kemenag